Awalnya kamu adalah kata yang hendak dituliskan oleh pensil yang sedang kupegang, yang meski telah kuruncingkan
, ternyata tak segera berani memilih aksara pertama sebagai awalan. Hingga akhirnya ku menyadari, sudah berapa lama ku seperti ini? Masih berada disini, duduk di tempat yang sama sambil merelakan waktuku terbuang percuma.
Aku memandang sekelilingku yang sepertinya selalu tampak sama, hingga mataku tertuju pada jam dinding tua yang tergantung tak jauh dari posisi ku berada. Timbul niat untuk melukiskannya di lembar kertasku yang berdebu, tapi tampaknya hal itu menuai jalan buntu. Ya aku lupa, kalau jam dinding itu sudah ku lukis minggu lalu. Aku tak ingin melukisnya untuk kedua kalinya, terlebih saat ini aku sedang tak ingin membahas hal-hal yang berkaitan dengan waktu. Baik. Aku akui kemarin aku bertengkar dengan dirinya, dan kamu jangan tanyakan kenapa sebabnya karena akupun tak ingin mengingatnya. Aku dan waktu memang sama-sama egois dan keras kepala, tapi tenang saja besok atau lusa kita pasti akan berbaikan seperti semula..
Kualihkan pandanganku kembali pada bingkai kaca yang kuletakkan di dekat jendela, dan ada potretmu disana. Pada akhirnya kuputuskan untuk menggambar saja ruas senyum yang kaubenamkan di antara bibir indahmu yang selalu cemberut. Jika saja dulu aku tak memasukanmu ke dalam memori khusus di otakku, mungkin aku takkan pernah bisa secermat ini mengarsir lekuk pipimu. Dan aku yakin alis tebal seperti itu hanya dimiliki bidadari, apalagi dengan kelopak mata yang terlihat berjodoh dengan tatapanmu yang istimewa. Ah ya, jenjang leher itu pensilku perlu menempuh perjalanan panjang untuk memahami keindahannya.
Selesai! Dan kusampaikan didepan potretmu. Tadinya kertas ini kosong. Bukan sulap, bukan pula sihir. Abrakadabra! Di kertas ini kemudian muncul sesosok bidadari. Ah, aku suka kau mulai tersenyum. Eh, tapi mengapa tiba-tiba kau mengernyit, lalu memandangi aku seperti itu? Salah apa aku? Apakah aduh, mungkinkah karena garis hidung yang belum sempurna betul kugambar tapi sudah lebih dulu aku tunjukkan? Mati aku. Aku ceroboh, terlalu terburu-buru menunjukannya padamu. Sebentar, sebentar. Aduh, bagaimanapun juga aku harus mencari sebuah alasan.
Sedetik. Dua detik. Jam yang tadi kubenci ikut menghitung bersamaku, menunggu ledakan kemarahanmu atas kesalahanku. Namun setelah sekian lama menunggu, ternyata potretmu masih diam disana. Tak bicara, tak bergerak tapi masih dengan tatapan sinis itu. Mungkinkah karena kesalahanku terlalu besar, hingga kau tak sanggup untuk mengeluarkan amarahmu? Padahal aku sudah bersiap menghadapinya dengan sebuah alasan yang tadi sempat aku temukan di bawah kursi tempatku mendudukan diri.
Ataukah tatapan itu bukan kamu tunjukkan untuk aku atau gambar tak sempurnaku itu? Ya kuharap begitu, kuharap aku tak pernah lagi membuat kesalahan yang akan menyakiti hatimu. Tapi kalau bukan karena aku lalu siapa yang membuatmu menunjukkan tatapan itu. Mungkinkah? Adakah yang salah dengan ruangan tempatku berada sekarang? Ya kuakui, disini takkan pernah menjadi tempat favoritmu. Dan akan kupastikan hal itu. Disini tak ada hamparan mawar yang selalu menjadi kebanggaanmu. Ya, mawar-mawar itu telah aku buang sebelum sempat aku berikan padamu.
Sebagai gantinya kupenuhi ruangan ini dengan ilalang- ilalang yang dulu kutemukan di persimpangan jalan menuju rumahmu. Tak seperti mawar yang berduri dan melukai, ilalang-ilalang ini takkan pernah mati meski ku memotongnya berkali-kali. Tak seperti mawar yang akan layu dimakan waktu, ilalang-ilalang ini takkan pernah takut melawan badai dan gemuruh yang mengganggu.
Tapi tak ada mawar bukan berarti aku tak suka mawar. Aku suka mawar, sangat suka malah. Sama besarnya seperti aku suka padamu. Jika tidak, mana mungkin aku sudi menanam pohon mawar di belakang rumahku. Hanya saja aku tak ingin ada hal lain yang menyaingi keindahanmu didalam ruanganku. Biarlah potret dirimu saja yang terindah dan istimewa disini, tak ingin ada yang lain selain dirimu.
Jadi hentikan tatapanmu itu, biar bagaimanapun juga ku tak ingin membawakan mawar lagi untukmu. Sebagai gantinya aku akan membuat bunga dari lembaran- lembaran kertas puisi yang dulu sempat kamu ludahi. Mungkin hasilnya takkan seindah, seharum, dan secantik mawar yang asli. Tapi setidaknya bunga itu tak berduri dan layu jika kau pegang nanti. Atau setidaknya bunga itu akan hancur dan takkan pernah tumbuh saat hujan datang esok hari.
Lebih banyak KLIK DISINI
0 Comments:
Posting Komentar