Jangan lupa bagikan jika bermanfaat

Sabtu, 30 Juli 2016

10 HADIST TENTANG MENUNTUT ILMU


Hadits no 1

Menuntut ilmu agama adalah kewajiban setiap Muslim

ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ , ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ : ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞّ ﻣﺴﻠﻢ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 223. Dishahihkan oleh Syaikh Al- Albani]

Hadits no 2

Keutamaan Orang yang Paham didalam Masalah Agama

 ﻗﺎﻝ ﺣﻤﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮّﺣﻤﻦ ﺳﻤﻌﺖ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺧﻄﻴﺒﺎ ﻳﻘﻮﻝ , ﺳﻤﻌﺖ ﺍﻟﻨّﺒﻲّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ” ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﻔﻘّﻬﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪّﻳﻦ , ﻭﺇﻧّﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﻗﺎﺳﻢ , ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻳﻌﻄﻲ , ﻭﻟﻦ ﺗﺰﺍﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣّﺔ ﻗﺎﺋﻤﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻀﺮّﻫﻢ ﻣﻦ ﺧﺎﻟﻔﻬﻢ ﺣﺘّﻰ ﻳﺄﺗﻲ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ

Humaid bin Abdurrahman berkata : “Aku mendengar Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu’anhu dalam khutbahnya dia berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan berikan ia pemahaman dalam (masalah) agama. Sesungguhnya aku hanyalah pembagi dan Allah yang memberi.

Umat ini senantiasa tegak diatas agama Allah, dan tidak merugikan mereka orang – orang yang menyelisihi mereka hingga datang ketentuan Allah.” [Diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari rahimahullah didalam Shahih nya, hadits no 71 dan Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan didalam Shahihnya, hadits semisalnya, hadits no 2392/100/1037]

Hadits no 3

Keutamaan Berjalan Menuntut Ilmu, Ahli Ilmu dan Ilmu adalah Warisan Para Nabi

ﻋﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻗﺎﻝ : ﻛﻨﺖ ﺟﺎﻟﺴﺎ ﻋﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪّﺭﺩﺍﺀ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﺩﻣﺸﻖ , ﻓﺄﺗﺎﻩ ﺭﺟﻞ , ﻓﻘﺎﻝ : ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺪّﺭﺩﺍﺀ , ﺃﺗﻴﺘﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ – ﻣﺪﻳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ – ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﻠﻐﻨﻲ ﺃﻧّﻚ ﺗـﺤﺪّﺙ ﺑﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨّﺒـﻲّ . ﻗﺎﻝ : ﻓﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﺑﻚ ﺗـﺠﺎﺭﺓ ؟ . ﻗﺎﻝ : ﻻ . ﻗﺎﻝ : ﻭﻻ ﺟﺎﺀ ﺑﻚ ﻏﻴﺮﻩ ؟ . ﻗﺎﻝ : ﻻ . ﻗﺎﻝ : ﻓﺈﻧّﻲ ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ” ﻣﻦ ﺳﻠﻚ ﻃﺮﻳﻘﺎ ﻳﻠﺘﻤﺲ ﻓﻴﻪ ﻋﻠﻤﺎ ﺳﻬّﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻘﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻨّﺔ , ﻭﺃﻥّ ﺍﻟـﻤﻼﺋﻜﺔ ﻟﺘﻀﻊ ﺃﺟﻨﺤﺘﻬﺎ ﺭﺿﺎ ﻟﻄﺎﻟﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ , ﻭﺇﻥّ ﻃﺎﻟﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﺴﺘﻐﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴّﻤﺎﺀ ﻭﺍﻷﺭﺽ ﺣﺘّﻰ ﺍﻟﺤﻴﺘﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟـﻤﺎﺀ , ﻭﺇﻥّ ﻓﻀﻞ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺎﺑﺪ ﻛﻔﻀﻞ ﺍﻟﻘﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻮﺍﻛﺐ , ﺇﻥّ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻫﻮ ﻭﺭﺛﺔ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ , ﺇﻥّ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻮﺭّﺛﻮﺍ ﻭﻻ ﺩﺭﻫﻤﺎ , ﺇﻧّﻤﺎ ﻭﺭّﺛﻮﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ , ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬﻩ , ﺃﺧﺬ ﺑـﺤﻆّ ﻭﺍﻓﺮ

Dari Katsir bin Qais Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Ketika aku sedang duduk disebelah Abu Darda’ di Masjid Damaskus. Tiba – tiba datang seorang laki – laki kepadanya, lalu laki – laki itu berkata : “Wahai Abu Darda’, Aku datang kepada mu dari kota Madinah –kota Madinah Rasulullah- untuk keperluan sebuah hadits yang sampai kepada ku bahwa engkau pernah meriwayatkan nya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.

Abu Darda’ berkata : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk berdagang?” Dia menjawab : “Tidak” Abu Darda’ berkata lagi : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk keperluan selain itu?” Dia (laki – laki itu) menjawab : “Tidak” Abu Darda’ berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air.

Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” [Hasan Shahih] : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan nya hadits no 223, Imam Abu Daud rahimahullah dalam Sunan nya, hadits no 3641. Imam Ibnu Hibban rahimahullah didalam Shahih nya hadits no 88. Imam At-Tirmidzi rahimahullah didalam Sunan nya hadits no 2682, Imam Ad-Darimi rahimahullah didalam sunan nya, hadits no 342, Imam Ahmad rahimahullah didalam Musnad nya, hadits no 21612 (tahqiq Ahmad Syakir) atau no 21715 (tahqiq Syuaib dkk).

Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib, Syaikh Fawwaz, Syaikh Khalid, Syaikh Hamzah]

Hadits no 4

Orang belajar dan mengajar ilmu dengan ikhlas seperti orang berjihad dijalan Allah.

 ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ : ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ” ﻣﻦ ﺟﺎﺀ ﻣﺴﺠﺪﻱ ﻫﺬﺍ , ﻟﻢ ﻳﺄﺗﻪ ﺇﻻّ ﻟﺨﻴﺮ ﻳﺘﻌﻠّﻤﻪ ﺃﻭ ﻳﻌﻠّﻤﻪ , ﻓﻬﻮ ﺑـﻤﻨـﺰﻟﺔ ﺍﻟـﻤﺠﺎﻫﺪ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭﻣﻦ ﺟﺎﺀ ﻟﻐﻴﺮ ﺫﻟﻚ , ﻓﻬﻮ ﺑـﻤﻨـﺰﻟﺔ ﺍﻟﺮّﺟﻞ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﻣﺘﺎﻉ ﻏﻴﺮﻩ

” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang datang ke masjid ku ini yang tidak lain kecuali hanya untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau yang ingin dia ajarkan. Maka kedudukan nya sama dengan seorang berjihad dijalan Allah. Dan barangsiapa datang dengan niat selain itu, maka kedudukan nya sama dengan seseorang yang hanya dapat memandang harta orang lain saja.” [Hasan Shahih : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam sunan nya hadits no 227. Dan ini lafadz milik nya. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam shahih nya hadits no 86. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad nya haidts no 8603.

Dishahihkan oleh Syaikh Al- Albani dan Dihasankan oleh Syaikh Syuaib al- Arnauth]

Hadits no 5

Pahala orang yang mengajarkan kebaikan dengan ilmu, seperti orang yang mengamalkan ilmu nya

 ﻋﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ , ﺃﻥّ ﺍﻟﻨّﺒـﻲّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻗﺎﻝ : ” ﻣﻦ ﻋﻠّﻢ ﻋﻠﻤﺎ , ﻓﻠﻪ ﺃﺟﺮ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻪ , ﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﻌﺎﻣﻞ ”

Dari Mu’adz bin Anas Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa mengajarkan ilmu, maka baginya pahala seperti orang yang mengamalkan ilmu nya dan tidak akan mengurangi pahala orang yang melakukan amal tersebut.” [Hasan : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan nya, hadits no 240.

Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah]

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

 ﻣﻦ ﺩﻝّ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ , ﻗﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﻓﺎﻋﻠﻪ

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia memperoleh pahala seperti pahala pelaku kebaikan tersebut.” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 4899/1893]

Hadits no 6

Ahli Ilmu dan Penuntut Ilmu adalah Pembuka Pintu Kebaikan dan Penutup Pintu Keburukan

ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ : ” ﺇﻥّ ﻣﻦ ﺍﻟﻨّﺎﺱ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﻟﻠﺨﻴﺮ , ﻣﻐﺎﻟﻴﻖ ﻟﻠﺸّﺮّ , ﻭﺇﻥّ ﻣﻦ ﺍﻟﻨّﺎﺱ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﻟﻠﺸّﺮّ , ﻣﻐﺎﻟﻴﻖ ﻟﻠﺨﻴﺮ , ﻓﻄﻮﺑﻰ ﻟـﻤﻦ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ , ﻭﻭﻳﻞ ﻟـﻤﻦ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﺸّﺮّ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ

" Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Dan sesungguhnya diantara manusia juga ada yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan. Maka berbahagialah orang yang Allah telah jadikan dia sebagai kunci pembuka pintu kebaikan ada ditangan nya. Dan celakalah orang yang Allah telah jadikan dia sebagai kunci pembuka pintu keburukan ada ditangan nya.” [Hasan : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 237.

Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah hadits no 195 dan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hadits no 1332]

Hadits no 7

Menuntut Ilmu adalah Wasiat Dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﻟﺨﺪﺭﻱ , ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻗﺎﻝ : “ ﺳﻴﺄﺗﻴﻜﻢ ﺃﻗﻮﻡ ﻳﻄﻠﺒﻮﻥ ﺍﻟﻌﻠﻢ , ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻫﻢ , ﻓﻘﻮﻟﻮﺍ ﻟﻬﻢ : ” ﻣﺮﺣﺒﺎ , ﻣﺮﺣﺒﺎ ﻳﻮﺻﻴّﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ”. ﻭﺍﻗﻨﻮﻫﻤﺰ ”

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Akan datang sekelompok kaum yang akan mencari ilmu. Apabila kalian melihat mereka, maka sambutlah mereka dengan ucapan. “Selamat datang, selamat datang dengan wasiat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.” Dan ajarilah mereka.” [Hasan : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 247. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 203 dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahih no 280]

Hadits no 8

Berlindung kepada Allah dari malas menuntut ilmu dan ilmu yang tidak bermanfaat

ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺇﺩﺍ ﻗﻞ ﻟﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺭﻗﻢ : ﺣﺪّﺛﻨﺎ ﻣﺎﺳﻤﻌﺖ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ﻻ ﺃﺣﺪّﺛﻜﻢ ﺇﻻّ ﻣﺎﻛﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﺣﺪّﺛﻨﺎﺑﻪ . ﻭﻳﺄﻣﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﻧﻘﻮﻝ : ﺍَﻟﻠﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻌَﺠْﺰِ ﻭَﺍﻟْﻜَﺴَﻞِ ﻭَﺍﻟْﺒُﺨْﻞِ ﻭَﺍﻟْﺠُﺒْﻦِ ﻭَﺍﻟْﻬَﺮَﻡِ ﻭَﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ . ﺍَﻟْﻠﻬُﻢَّ ﺁﺕِ ﻧَﻔْﺴِﻲْ ﺗَﻘْﻮَﺍﻫَﺎ ﻭَﺯَﻛِّﻬَﺎ , ﺃَﻧْﺖَ ﺧَﻴْﺮُ ﻣَﻦْ ﺯَﻛَّﺎﻫَﺎ , ﺃَﻧْﺖَ ﻭَﻟِﻴُّﻬَﺎ ﻭَﻣَﻮْﻻَﻫَﺎ . ﺍَﻟْﻠﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﻋُﻮْﺫُﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻻَﺗَﺸْﺒَﻊُ , ﻭَﻣِﻦْ ﻗَﻠْﺐٍ ﻻَ ﻳَﺨْﺸَﻊُ , ﻭَﻣِﻦْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻻَﻳَﻨْﻔَﻊُ , ﻭَﺩَﻋْﻮَﺓٍ ﻻَ ﺗُﺴْﺘَﺠَﺎﺏُ

Dari Abdullah bin Al-Harits Rahimahullah, ia berkata : Kebiasaan Zaid bin Arqam Radhiyallahu’anhu ketika dikatakan kepadanya : Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam..! maka ia (Zaid) menjawab : “Aku tidak akan menceritakan kepadamu kecuali sesuatu yang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam ceritakan kepada kami dan beliau memerintahkan kami untuk membaca doa : “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat kikir, sifat pengecut serta dari adzab kubur.” “Ya Allah karuniakanlah kepada jiwa ku ketakwaan, serta bersihkanlah, karena Engkau sebaik – baik pembersihnya. Engkau adalah pengaturnya serta pemiliknya.” “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak pernah puas, ilmu yang tidak bermanfaat, serta doa yang tidak dikabulkan.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 5553. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani didalam Shahih Sunan An- Nasa’i]

Hadits no 9

Doa agar diberi keberkahan pada ilmu yang sudah dipelajari dan meminta ditambahkan ilmu yang bermanfaat.

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻧْﻔَﻌْﻨِﻲْ ﺑِﻤَﺎ ﻋَﻠَّﻤْﺘَﻨِﻲْ , ﻭَﻋَﻠِّﻤْﻨِﻲْ ﻣَﺎﻳَﻨْﻔَﻌُﻨِﻲْ , ﻭَﺯِﺩْﻧِﻲْ ﻋِﻠْﻤًﺎ , ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺣَﺎﻝِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah berilah aku manfaat dari apa yang Engkau ajarkan kepada ku. Ajarilah aku akan apa yang bermanfaat untuk ku dan tambahkanlah ilmu ku. Segalapuji bagi Mu yang Allah, pada segala keadaan.” [Shahih dengan penguat : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 251,

dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani didalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 205] Didalam riwayat yang lain, juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berdoa :

ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻧْﻔَﻌْﻨِﻲْ ﺑِﻤَﺎ ﻋَﻠَّﻤْﺘَﻨِﻲْ , ﻭَﻋَﻠِّﻤْﻨِﻲْ ﻣَﺎﻳَﻨْﻔَﻌُﻨِﻲْ , ﻭَﺯِﺩْﻧِﻲْ ﻋِﻠْﻤًﺎ , ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺣَﺎﻝِ , ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑﺎِﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

“Ya Allah berilah aku manfaat dari apa yang Engkau ajarkan kepada ku. Dan ajarilah aku akan apa yang bermanfaat untuk ku dan tambahkanlah ilmu ku. Segalapuji bagi Mu yang Allah pada segala keadaan. Dan aku berlindung kepada mu ya Allah dari azab Neraka” [Shahih dengan penguat : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3833. Dan Diriwayatkan juga oleh Imam at- Tirmidzi rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3599.

Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Hadits no 10

Meminta Ilmu yang bermanfaat setelah Shalat Subuh

ﻋﻦ ﺃﻡّ ﺳﻠﻤﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ , ﺃﻥّ ﺍﻟﻨّﺒﻲّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ﻳﻘﻮﻝ – ﺇﺫﺍ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﺼّﺒﺢ ﺣﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠّﻢ : ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻧَﺎﻓِﻌًﺎ , ﻭَﺭِﺯْﻗًﺎ ﻃَﻴِّﺒًﺎ , ﻭَﻋَﻤَﻼً ﻣُﺘَﻘَﺒَّﻼً

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu’anha, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam sering membaca setelah menyelesaikan shalat subuh : “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diterima.” [Shahih dengan penguat : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 925. Diriwayatkan oleh Imam An- Nasa’i rahimahullah didalam Sunan Al-Kubra hadits no 9850. Dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad rahimahullah didalam Musnad nya, hadits no 26521 (dalam cet lain hadits no 26401) dan hadits no 26602 (dalam cet lain hadits no 26481).

Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan Syaikh Hamzah rahimahullah]

Baca juga PERISTIWA MENJELANG KELAHIRAN RASULILLAH S.SA.W

–oOo–

Disusun Oleh : Prima Ibnu Firdaus al-Mirluny
Artikel : elmuntaqa.wordpress.com

Share:

Jumat, 29 Juli 2016

KUMPULAN HADITS RASULULLAH S.A.W TENTANG WANITA

Kumpulan Hadits Nabi Tentang Perempuan


Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa salam yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas. Dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.

Berikut ini adalah beberapa hadits yang berkaitan dengan wanita yang kami rangkum dari berbagai sumber yang kredibel. Semoga dengan mengetahui dan mengamalkan Hadits-Hadits ini, kita dapat mejadi orang yang lebih baik lagi.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya : “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak- anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min : ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab : 59)

1. Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

2. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu :

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik- baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57 : “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bagi lelaki yang ingin menikah :

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

4. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda :

“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al- Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)

5. Ketika Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam :

“Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki ?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)

6. Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya :

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuatlah baik kepada wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya : Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)

8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata : “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)

9. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

10. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda :

“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)

11. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

12. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)

13. Kisah wanita yang akan berangkat menunaikan shalat ‘ied, ia tidak memiliki jilbab, maka diperintah oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“Hendaknya Saudarinya meminjaminya Jilbab untuknya.” (HR. Bukhari No. 318).

14. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di akhir kehidupannya, dan hal itu terjadi pada haji Wada’ :

“Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka itu (bagaikan) tawanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa terhadap mereka sedikit pun selain itu, kecuali bila mereka melakukan perbuatan nista. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukul lah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika ia mentaati kalian, maka janganlah berbuat aniaya terhadap mereka. Mereka pun tidak boleh memasukkan siapa yang tidak kalian sukai ke tempat tidur dan rumah kalian. Ketahuilah bahwa hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat baik kepada mereka (dengan mencukupi) pakaian dan makanan mereka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih)

15. Ummu Salamah berkata :

“Wahai Rasulullah, bagaimana wanita berbuat dengan pakaiannya yang menjulur ke bawah ?” Beliau bersabda : “Hendaklah mereka memanjangkan satu jengkal”, lalu ia bertanya lagi : “Bagaimana bila masih terbuka kakinya ?” Beliau menjawab : “Hendaknya menambah satu hasta, dan tidak boleh lebih”. (HR. Tirmidzi 653 dan berkata : “Hadits hasan shahih”).

16. Dari Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda padanya :

“Apapun yang engkau berikan berupa suatu nafkah kepada keluargamu, maka engkau diberi pahala, hingga sampai sesuap makanan yang engkau angkat (masukkan) ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

17. Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab : “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu ?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab : “Aku…tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda : “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu ” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)

18. Di dalam kisah gerhana matahari yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang, beliau melihat surga dan neraka. Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya : “… Dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita”.

Para shahabat pun bertanya : “Wahai Rasulullah, Mengapa (demikian) ?” Beliau menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian mereka bertanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

19. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“Ada dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya : Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya, dan wanita yang kasiyat (berpakain tapi telanjang baik karena tipis, atau pendek yang tidak menutup semua auratnya), Mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang) kepala mereka seperti punuk onta yang berpunuk dua. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga itu akan didapati dari sekian dan sekian (perjalanan 500 tahun).” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421)

20. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik dari pada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya.” (HR. At-Thabrani dan Baihaqi) 21. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa memakai pakaian yang berlebih- lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan dihari akhir nanti.” (HR. Abu Daud)

22. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya) :

“Wahai anakku Fatimah ! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mau menutup rambutnya daripada dilihat laki-laki yang bukan mahramnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

23. Dari Hamzah bin Abi Usaid al-Anshari, dari bapaknya, bahwa ia telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada para wanita (saat itu beliau sambil keluar dari masjid, dan terlihat laki-laki dan wanita berbaur di jalan) :

“Minggirlah kalian, karena tidak layak bagi kalian untuk berjalan di tengah. Kalian harus berjalan di pinggir.” Sejak saat itu, ketika para wanita berjalan keluar, mereka berjalan ditepi tembok. Bahkan baju-baju mereka sampai tertambat di tembok, karena begitu dekatnya mereka dengan tembok ketika berjalan. (HR. Abu Dawud; Hasan)

24. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian dari masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka adalah lebih baik untuk mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah; Shahih)

25. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, beliau bersabda (artinya) :

“Sesungguhnya wanita adalah aurat. Sehingga ketika ia keluar rumah, ia akan disambut oleh syaithan. Dan kondisi yang akan lebih mendekatkan dirinya dengan Rabbnya adalah ketika ia berada di rumahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah; Shahih)

26. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Akan ada di akhir umatku kaum lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu-pintu masjid, wanita- wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, di atas kepala mereka (terdapat sesuatu) seperti punuk onta yang lemah gemulai. Laknatlah mereka ! sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita terlaknat.” (HR. Imam Ahmad (2/233) )

27. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada zina.” (HR. An-Nasaii ibnu Khuzaimah & ibnu Hibban)

28. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Rasulullah melaknat perempuan yang mengikir gigi atau meminta supaya dikikir giginya.” (HR. At- Thabrani)

29. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari, no. 3069 dan Muslim no.7114, dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)

30. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Aku berdiri di depan pintu syurga, lalu (kulihat) kebanyakkan orang yang masuk kedalamnya adalah orang orang miskin, dan orang orang yang kaya ditahan kecuali penghuni neraka mereka disuruh untuk masuk ke neraka, dan aku berdiri di depan pintu neraka maka (kulihat) kebanyakkan yang masuk kedalamnya adalah wanita”. (HR. Muslim, no. 7113) 31. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim, no. 7118).

32. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud, no. 2228, dan Ibnu Majah, no. 2055 Di shahihkan oleh syekh Al- Bani dalam “shahih sunan Abu Daud” (no. 1928).

33. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila suami mengajak istri keranjangnya (untuk jima’) lalu ia tidak memenuhi maka ia dilaknat oleh para malaikat sampai subuh”. Dalam riwayat : “lalu ia tidur malam sedang suaminya murka maka para malaikat akan melaknatnya sampai subuh.” Dalam riwayat lain : “Apabila istri diwaktu malam meninggalkan ranjang suaminya, ia enggan mendatanginya, maka yang di langit (Allah) akan murka kepadanya sampai ia minta keridhaan suaminya.

34. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Bershadaqahlah kalian ! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam !” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami !” (HR. Bukhari)

Sumber : hendisantika.wordpress.com

Share:

SEJARAH AWAL MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

Sejarah awal mula masuknya Islam ke Indonesia – Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negara- negara di Asia barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun kerajaan Cina zaman Dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.

Upaya kerajaan Sriwijaya dalam memperluas kekuasaannya ke Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti 775, berita-berita Cina dan Arab abad ke-8 sampai abad ke-10 M. Hal ini erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional.

Pada tahun 173 H, sebuah kapal layar dengan pimpinan Makhada Khalifah dari Teluk Kambay Gujarat berlabuh di Bandar Perlak dengan membawa kira-kira 100 orang anggota dakwah yang terdiri atas orang-orang Arab, Persia, dan Hindia. Mereka menyamar sebagai awak kapal dagang dan khalifah menyamar sebagai kaptennya. Makhada Khalifah adalah seorang yang bijak dalam dakwahnya, sehingga dalam waktu kurang dari setengah abad, Meurah (raja) dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Hindu-Budha dengan sukarela masuk agama Islam.

Selama proses pengislaman yang relatif singkat, para anggota dakwah telah banyak yang menikah dengan wanita Perlak. Diantaranya adalah seorang anggota dari Arab suku Quraisy menikah dengan putri Istana Kemeurahan Perlak yang melahirkan putra Indo-Arab pertama dengan nama Sayid Abdul Aziz.

Pada tanggal 1 Muharram 225 H/840 M, kerajaan Islam Perlak diproklamasikan dengan raja pertamanya adalah putra Indo-Arab tersebut dengan gelar Sultan Alaiddin Maulana Aziz Syah. Pada waktu yang sama nama ibu kota kerajaan diubah dari Tiandor Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai kenangan indah kepada khalifah yang sangat berjasa dalam membudayakan Islam kepada bangsa-bangsa Asia Tenggara yang dimulainya dari Perlak.

Dengan demikian, kerajaan Islam yang pertama berdiri pada awal abad ke-3 H/9 M berlokasi di Perlak. Lalu mengapa dalam sejarah tercatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai yang disebut- sebut sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia?

Islam masuk ke Pulau Jawa, Maluku, Kalimantan dan Sulawesi

Selanjutnya, Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-11 M., dengan ditemukannya makam Fatimah Binti Maimun di lereng Gresik yang berangkat pada tahun 475 H/4082 M. Data sejarah lainnya menyebutkan seperti berikut :

Islam masuk ke Pulau Jawa pada abad ke-12 M. Islam masuk ke Maluku sekitar abad ke-14. Islam masuk ke Kalimantan awal abad ke-15 M. Islam masuk ke Sulawesi abad ke-16 M.

Penduduk atau penguasa kepulauan tersebut sudah masuk Islam sebelum kolonial Belanda menguasai Indonesia.

Makalah kedatangan Islam ke wilayah Melayu Wan Husein Azmi mengemukakan dalam makalahnya bahwa ada tiga teori tentang kedatangan Islam ke wilayah Melayu, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Arab

Yaitu datangnya Islam ke Melayu secara langsung dari Arab, karena muslim wilayah Melayu berpegang pada madzhab Syafi’i yang lahir di Semenanjung tanah Arab. Teori ini disokong oleh Sir John Crawford.

2. Teori India

Yakni bahwa Islam datang dari India. Teori ini lahir selepas tahun 1883 M, dibawa oleh Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini antara lain adalah : Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize.

3. Teori Cina

Yaitu bahwa Islam datang ke wilayah Nusantara dari Cina. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie, seorang scientist Spanyol.

Namun, meskipun demikian, dapat kita akui bahwa jalan yang dibawa para saudagar Arab masuk ke wilayah Nusantara ini adalah sama. Ada yang melalui jalan laut dari Aden menelusuri pantai India Barat dan Selatan, atau jalan darat dari Khurasan kemudian melalui hutan menyeberangi laut Cina Selatan masuk ke wilayah Nusantara melalui pesisir pantai timur semenanjung tanah melayu.

Oleh sebab itu, dapatlah kita berpendapat bahwa dakwah Islamiyah datang ke wilayah Nusantara melalui lautan India dan juga laut Cina Selatan secara langsung dari negeri Arab dan oleh orang-orang Arab.

Periodesasi masuknya pendakwah Islam ke Indonesia

Periodesasi masuknya pendakwah Islam ke Indonesia menurut Muhammad Samsu, dapat dibagi ke dalam tiga gelombang, yaitu :

1. Gelombang pertama

Yaitu diperkirakan pada akhir abad ke-1 H/7 M. ketika kaum Syi’ah dikejar-kejar oleh Bani Umayah yang berkuasa saat itu. Mereka adalah kelompok yang dipimpin Makhada Khalifah.

2. Gelombang kedua

Yaitu diperkirakan pada abad ke-6 H/13 M, di bawah Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang anak cucunya lebih dari 17 orang tiba di Gresik, Pulau Jawa. Pendakwah lainnya seperti Maulana Malik Ibrahim, Maulana Malik Ishak, Raden Rahmat atau Sunan Amel, dan sebagainya.

3. Gelombang ketiga

Yaitu diperkirakan pada abad ke-9 H/16 M, yang dipimpin ulama Arab dan Tarim, Hadramaut. Mereka berjumlah lebih dari 45 orang dan datang berkelompok berkisar 2, 3, atau 5 orang. Mereka mengajar dan menetap di Aceh, Riau, Sadang, Kalimantan Barat dan Selatan, Sulawesi Tengah dan Utara, Ternate, Bali, Sumba, Timor, dan lain-lain.

Kedatangan Islam dan penyebarannya di kepulauan Indonesia adalah dengan cara damai melalui beberapa cara. Menurut Uka Tjandrasasmita ada enam cara, yaitu saluran dagang, perkawinan, ajaran tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.

Kesimpulan Seminar Aceh oleh Prof. A. Hasymi

Dalam kesimpulan akhir seminar di Aceh yang disusun oleh Prof. A. Hasymi disebutkan sebagai berikut :

1. Seminar menegaskan kembali kesimpulan sejarah Islam yang berlangsung di Medan pada tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dalam seminar sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978, yaitu : bahwa Agama Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke-1 H., langsung dari tanah Arab. Selanjutnya, seminar berpendapat bahwa daerah yang mula-mula masuk dan menerima Islam di Nusantara adalah Aceh.

2. Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara merupakan proses yang memakan waktu panjang, sehingga antara masuknya Islam dan tumbuhnya kerajaan Islam merupakan dua hal yang perlu dibedakan. Berdasarkan dokumen “Izdharyl Haqq” dan Lazkirat Thabakai Jam’u Salatin”, kerajaan Islam Perlak didirikan pada tahun 225 H (abad ke-9 M) Tentang kerajaan Islam Perlak tersebut terdapat juga dalam catatan Marcopolo. Terhadap sumber-sumber tersebut dipandang perlu untuk diperkuat dengan penelitian- penelitian arkeologi.

Demikian pembahasan mengenai Sejarah awal mula masuknya Islam ke Indonesia, semoga menjadi catatan sejarah Islam Nusantara.

Dedi Supriyadi, M.Ag. dalam bukunya berjudul Sejarah Peradaban Islam mengatakan :

Tidak ada sejarah yang lengkap. Begitulah fakta sejarah dunia mana pun. Kita hanya dapat mengalami suatu kejadian dari sebagian totalitas kejadian itu. Karena itu, kita tidak salah apabila ada yang mengatakan : sejarah berulang dan kita perlu belajar sejarah . Dua sisi inilah yang menjadi pijakan kuat dalam mengungkapkan sejarah peradaban Islam baik secara subjektif maupun objektif. 

Sumber : www.sejarah-negara.com
Sumber artikel sejarah ini : lihat di laman Kepustakaan
Baca juga SEJARAH ISLAM DI DUNIA
Share:

SEJARAH ISLAM DI DUNIA

Sejarah Agama Islam di dunia


Sejarah Islam adalah sejarah agama Islam mulai menurun dalam wahyu pertama di 622 seperti diungkapkan Rasul terakhir, Muhammad bin Abdullah di Gua Hira, Arab Saudi sampai sekarang.

Sejarah islam Sejarah Agama Islam Di Dunia Islam muncul di Semenanjung Arab pada abad 7 Masehi ketika Nabi Muhammad saw mendapat ayat- ayat Allah s.w.t. Setelah kematian Rasullullah s.a.w. Islam berkembang ke Samudra Atlantik di Barat dan Asia Tengah di Timur. Seiring waktu, Muslim dibagi dan ada banyak kerajaan Islam berkembang lainnya.

Namun, munculnya Islam sebagai kerajaan kerajaan Umayyah, Abbasiyah, kerajaan Seljuk/Turki Seljuk, Ottoman Empire, Mughal Empire, India, dan Kesultanan Malaka telah menjadi kerajaan yang kuat. Tempat yang bagus untuk belajar ilmu pengetahuan telah menyadari sebuah peradaban Islam yang agung. Banyak ahli dalam ilmu sains dan sebagainya muncul dari negara-negara Muslim, terutama dizaman emas Islam.

Pada abad ke-18 dan ke-19 Masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman runtuh kerajaan Islam terakhir menyembah bumi. Nabi Muhammad S.A.W Semenanjung Arab sebelum kedatangan Islam adalah daerah yang sangat terbelakang.

Banyak orang Arab yang penyembah berhala dan pengikut lain dari agama Kristen dan Yahudi. Mekkah saat itu adalah tempat suci bagi orang-orang Arab. Karena di tempat-tempat ini ada berhala agama mereka dan ada juga Sumur Zamzam, dan yang paling penting adalah Ka’bah.

Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah pada Tahun Gajah adalah pada taggal 12- Rabi’ul Awal atau pada tanggal 21 April (570 atau 571 Masehi). Nabi Muhammad adalah seorang yatim piatu setelah ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal ketika ia masih dalam kandungan dan ibunya Aminah binti Wahab meninggal ketika ia berusia 7 tahun. Kemudian ia dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah kakeknya meninggal ia dibesarkan dengan baik oleh pamannya, Abu Thalib.

Nabi Muhammad kemudian menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Dia memiliki kambing dan menjadi pengembala kambing. Nabi Muhammad pernah diangkat menjadi hakim. Pada saat ia berusia 35 tahun, pada saat banjir di kota Mekah, ia tidak suka suasana kota Mekah yang dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki masalah sosial yang tinggi.

Selain orang-orangnya menyembah berhala, orang-orang Mekah pada waktu itu juga mengubur bayi-bayi perempuan. Nabi Muhammad menghabiskan banyak waktu degan menyendiri di gua Hira untuk mencari ketenangan dan memikirkan Mekkah.

Ketika Nabi Muhammad berumur 40 tahun, ia dikunjungi oleh Malaikat Jibril. Setelah itu, ia mengajar ajaran Islam secara diam-diam kepada orang-orang terdekat yang dikenal sebagai “as- Sabiqun al-Awwalun (yang pertama masuk Islam)” dan kemudian secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekkah, setelah turun wahyu al quran surat al Hijr ayat 94.

Di tahun 622, Nabi Muhammad dan pengikut- pengikutnya pindah dari Mekah ke Madinah. peristiwa ini dinamakan Hijrah. Sejak itu dimulai kalender Islam atau kalender Hijriyah. Warga Mekkah dan Madinah berjuang dengan Nabi Muhammad saw. dengan hasil yang baik meskipun ada di antara umat Islam yang tewas. Muslim akhirnya menjadi lebih kuat, dan menaklukkan kota Mekah.

Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat, seluruh Jazirah Arab di bawah kendali Islam. Perkembangan Agama Islam Di Dunia Dalam sejarah umum Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad telah berkembang secara luas di seluruh dunia.

Bani Abbasiyah, Bani Umayyah, dan Kekaisaran Utsmaniyah dapat dikatakan untuk menghubungkan daya dari empat khalifah pertama Islam setelah Khulafaur Rasyidin. Indonesia telah mengenal Islam sejak abad pertama 7 masehi atau Hijriyah, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang-pedangang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk berhenti untuk beberapa waktu.


  • Pengenalan Islam lebih baik, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung hingga beberapa abad kemudian. Khulafaur Rasyidin 
  • 632 M – Wafatnya Nabi Muhammad dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah. Usamah bin Zaid memimpin penyerbuan ke Syria. Perang melawan orang yang murtad, yaitu Bani Tamim dan al- Kadzab Musailamah.
  • Dan 633 M – Mulailah pengumpulan Al Quran.
  • 636 M – Perang di tentara Romawi sehingga Ajnadin atas Suriah, Mesopotamia, dan Palestina bisa ditaklukkan. Penaklukan Kadisia atas tentara Persia. 661 M – Ali bin Abi Thalib meninggal karena dibunuh. Pemerintah Khulafaur Rasyidin berakhir. 
  • Hasan (cucu dari Nabi Muhammad) kemudian diangkat sebagai Khalifah ke-5 Muslim (umat muslim) menggantikan Ali bin Abi Thalib. 
  • 661 M – Setelah sekitar 6 bulan Khalifah Hasan memerintah, dua kelompok besar, yaitu kekuatan Islam pasukan Hasan Khalifah di Kufah dan pasukan Muawiyah di Damaskus siap untuk memulai pertempuran besar. Ketika pertempuran akan pecah, Muawiyah kemudian menawarkan rencana perdamaian untuk Khalifah Hasan kemudian dengan mempertimbangan persatuan Umat Muslim, rencana perdamaian diterima dengan persyaratan oleh Khalifah Hasan kepada Muawiyah. disampaikan oleh Khalifah Hasan kepada Muawiyah. Tahun itu dikenal sebagai Tahun Perdamaian / Unity (Aam Jamaah) dalam sejarah umat Islam. 

Sejak saat itu Muslim Khalifah Muawiyah diikuti oleh sistem yang merupakan kerajaan Islam pertama yaitu pergantian pemimpin (Raja Islam) dilakukan untuk generasi (Daulah Umayyah) dari Umayyah Daulah kemudian terus kerajaan Islam yang selanjutnya disebut yaitu pergantian pemimpin. Kerajaan Bani Ummaiyyah 661 M – Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan sebuah Kerajaan Bani Ummaiyyah.
  • 669 M – Mempersiapkan peperangan untuk melawan Konstantinopel 677 M – Melakukan penyerangan peperangan Konstantinopel yang pertama kali tetapi masih gagal. 
  • 679 M – Melakukan penyerangan peperangan Konstantinopel yang kedua tetapi gagal karena Muawiyah meninggal pada tahun 680. 
  • 700 M – Tentara muslim melawan Afrika Utara dari kaum Barbar . 
  • 717 M – Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Pembaharuan yang hebat dijalankan. 
  • 725 M – Tentara muslim melawan Nimes di Perancis.  
  • 749 M – Kekalahan tentera Ummayyah di Kufah, Iraq ditangan tentara Abbasiyyah. 
  • 750 M – Damaskus ditaklukkan oleh tentera Abbasiyyah. Dan runtuhnya Kerajaan Bani Ummaiyyah. Kerajaan Bani Abbasiyyah 752 M Berdirinya sebuah Kerajaan Bani Abbasiyyah. 
  • 763 M – Pendirian kota Baghdad. Kekalahan tentara Abbasiyyah di Spanyol. 
  • 809 M – Wafatnya Harun ar-Rasyid. Al-Amin dan diangkat menjadi khalifah. 
  • 814 M – Terjadinya perang saudara antara Al- Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin yang terbunuh dan Al-Ma’mun yang menjadi khalifah. 1055 M – Penyerangan tentara Turki terhadapa Baghdad.. 
  • 1091 M – Berakhirnya pemerintahan islam di Sicilia karena penyerangan Bangsa Norman. 
  • 1095 M- 1099 M – Dimulai pertama kalinya perang Salib dan Tentara Salib mengalahkan Baitul Maqdis. Dan mereka membunuh semua penduduknya. 
  • 1144 M – Nuruddin Zengi mengalahkan Edessa dari tentera Kristian. Perang Salib kedua berlaku. 
  • 1187 M – Salahuddin Al-Ayubbi mengalahkan Baitulmuqaddis dari tentera Salib. Perang Salib ketiga berlaku. 
  • 1258 M – Pasukan Mongol melakukan penyerangan dan menghancurkan Baghdad. Ribuan penduduk Baghdad terbunuh. Runtuhnya Baghdad. Berakhirnya pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah-Seljuk. 
  • 1260 M – Kebangkitan Umat Muslim (islam). Kerajaan Bani Mamluk di Mesir (merupakan sebuah pertahanan Umat Muslim yang ke 3 terakhir setelah Makkah & Madinah) dari pimpinan SultanSaifuddin Muzaffar Al-Qutuz yang mengalahkan pasukan Mongol di dalam sebuah peperangan di Ain Jalut. 
  • Kerajaan Turki Utsmani 1299 M – Sebuah pemerintahan yang kecil di Turki di bawah Turki Seljuk didirikan di barat Anatolia. 
  • 1301 M – Osman I menyatakan bahwa dirinya sebagai seorang sultan. Dan berdirinya Kerajaan Turki Usmani. 
  • 1402 M – Timurlane, Raja Tartar (Mongol) menghabiskan tentera Uthmaniyyah di Ankara. 
  • 1451 M – Sultan Muhammad al-Fatih menjadi seorang pemimpin pemerintah. 
  • 1687 M – Wafatnya Sultan Muhammad IV. 
  • 1804 M – Kebangkitan dan pemberontakan bangsa Serbia yang pertama. 
  • 1815 M – Kebangkitan dan pemberontakan bangsa Serbia kedua. 
  • 1826 M – Kekalahan tentera laut Uthmaniyyah di Navarino. Dan pembunuhan secara massal tentara elit Janissari. 
  • 1830 M – Kemerdekaan Greece dan berakhirnya peperangan. 
  • 1853 M – Awal Perang Crimea. 1856 M – Berakhirnya Perang Crimea. 
  • 1912 M dan 1913 M – Perang Balkan pertama dan Perang Balkan kedua 1924 M – Khalifah dihapus.Dan berakhirnya sebuah pemerintahan Kerajaan Turki Utsmani.
  • Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan dan lain-lain. 
  • Tokoh penyebar agama islam di Indonesia adalah walisongo antara lain, 1. Sunan Ampel 2. Sunan Bonang 3. Sunan Muria 4. Sunan Gunung Jati 5. Sunan Kalijaga 6. Sunan Giri 7. Sunan Kudus 8. Sunan Drajat 9. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Lebih banyak silahkan KLIK DISINI
Share:

BIOGRAFI IMAM SAFI'I

Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan.

Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat. Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam setiap generasinya- lengang dari para ulama.

Diawali dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi.

Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang- orang jahil.

Di antara para ulama tersebut adalah Al- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu.

Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia. Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al- Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al- Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i).

Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam).

Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughatkarya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, 1/44)

Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy- Syafi’i rahimahullahu Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy- Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al- Kufirahimahullahu meninggal dunia.

Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman. Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al- Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (LihatManhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74) Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.

Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar- benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat.

Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.[1] Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah- tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).

Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu.

Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya.

Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal- hal yang bermanfaat (bekerja)!” Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i.

Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23) Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy- Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah.

Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka.

Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.[2] (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102) Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama).

Mush’ab bin Abdullah Az- Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy- Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy- Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair.

Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96) Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman- Baghdad.

Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.

Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka.

Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya.

(Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12) Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua.

Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:

Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa: Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.

” Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy- Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.

” Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.

” Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).

” Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.

” Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.

” Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.

” Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.” Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

” Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahirirahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.

” Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.” Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al- Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa: Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.

” Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy- Syafi’i.

” Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.” Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.

” Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.” Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy- Syafi’i rahimahullahu Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:

“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”

“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar- nya berkata:

“Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama.

Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).[3]

c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini:

“Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan- Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4]

Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5]

Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari- Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517) Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7]

Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan AllahSubhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﺒَﺼِﻴﺮُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)

Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif).

Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid- muridnya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)

d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla.

Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An- Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415) Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy- Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini:

“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita.

Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui.

Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442) Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama.

Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469) Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy- Syafi’i, 2/207) Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.

[8] Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin. Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Sumber:

Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430 H/2009 http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/03/19/ mengenal-lebih-dekat-al-imam-muhammad-bin-idris- asy-syafi%E2%80%99i/

[1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.

[2] Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.

[3] Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.

[4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.

[5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.

[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.

[7] Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.

[8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal.

8. Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.

NASAB BELIAU

Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN

Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

PERTUMBUHANNYA

Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.

Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang

KECERDASANNYA

Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.

2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.

3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.

4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun. Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy- Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

MENUTUT ILMU

Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

GURU-GURU BELIAU

Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri 3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya.

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.

MURID-MURID BELIAU

Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain- lainnya banyak sekali.

KARYA BELIAU

Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU

Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia.

Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.” Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.” Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”

PRINSIP AQIDAH BELIAU

Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya.

Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat- sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya.

Allah berfirman, “Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

PRINSIP DALAM FIQIH

Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.” Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.” Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH

Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy- Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”

PESAN IMAM ASY-SYAFI`I

“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.” WAFAT BELIAU Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76).

Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”

KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I

“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.

Sumber: Majalah As-Salaam , Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Share:

Kamis, 28 Juli 2016

MENGNAL SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAELANI

Oleh : Al-Ustadz Abu Hafiy Abdullah hafizhahullah


Tahukah anda siapa Asy Syaikh Adul Qadir Al-Jailani? Cobalah lontarkan pertanyaan ini kepada siapa saja yang anda jumpai. Insya Allah mereka akan mengenalnya.

Dia adalah seorang wali, dia adalah ulama, dia adalah orang shalih. Ya, nama Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani begitu populer di negeri kita. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang shalih, sekaligus sangat identik dengan berbagai karamah yang dimiliki.

Ada yang meyakini bahwa beliau adalah wali Allah yang mampu terbang tinggi di angkasa raya, atau berjalan di atas air dengan secepat kilat. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa beliau mampu menghidupkan orang yang sudah mati.

Sebenarnya, kisah tentang berbagai keajaiban inilah yang membuat sekian banyak orang mengagumi dan mengidolakan Syaikh Abdul Qodir Al-Jaelani. Sampai sungguh disayangkan, perbuatan sebagian orang yang sangat berlebihan terhadap beliau. Yaitu menjadikan beliau sebagai wasilah (perantara) dalam doa. Dengan keyakinan, tanpa hal itu, doa mereka tidak akan dikabulkan. Jelas ini merupakan sikap yang melampaui batas dan kesesatan yang nyata.

Sehingga alangkah baiknya jika kita mengetahui siapa sebenarnya Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Benarkah beliau mempunyai berbagai keajaiban tersebut? Ataukah sekedar mitos atau dongeng hasil rekayasa orang-orang, yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah?

NASAB BELIAU

Nama lengkap beliau adalah Abdul Qadir bin Abi Shalih Abdullah bin Janki Duwast bin Abi Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa Al Hauzy bin Abdullah Al mahdi bin Al Hasan Al mutsanna bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Al-Jailani.

Dengan melihat kepada silsilah keturunan di atas, bisa diketahui bahwa beliau memiliki garis keturunan yang mulia karena berujung kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Beliau berasal dari negeri Jailan, sehingga sebutan Al- Jailani merupakan nisbat kepada negeri tersebut.

Jailan adalah sebuah nama untuk beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thabaristan. Beliau dilahirkan di tempat tersebut pada bulan Ramadhan tahun 470 H. Asy Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan salah seorang ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Siapa saja yang membaca dan menelaah biografi beliau yang banyak disebutkan oleh para ulama, niscaya ia akan mendapatkan bahwa beliau berakidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat perjalanan hidup beliau selama menuntut ilmu agama. Beliau tiada pernah lepas dari bimbingan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Sungguh Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan taufik dan karunia yang sangat besar kepada beliau.

CINTA ILMU SEJAK KECIL

Ya,, Allah menanamkan rasa cinta terhadap ilmu agama semenjak beliau masih anak- anak. Dalam usia yang masih sangat belia, yaitu pada umur 8 tahun, beliau telah meninggalkan tempat kelahiran dan merantau ke kota Baghdad untuk menimba ilmu dari para ulama. Beliau belajar kepada Al Qadhi Abu Sa’ad Al- Mukharrimi. Selain itu beliau pun banyak meriwayatkan hadits dari sejumlah ulama pada masa itu.

Di antaranya Abu Ghalib Al Baqillani dan Abu Muhammad Ja’far As Sirraj.

Beliau menimba ilmu dari ulama- ulama tersebut, hingga mampu menguasai berbagai ilmu ushul dan khilaf (perbedaan) pendapat para ulama. Bahkan Abu Sa'd Al- Mukharrimi, akhirnya menyerahkan pengelolaan sekolahnya di Babul Ajaj sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir Al- Jailani.

Semenjak itulah petualangan dakwah beliau dimulai. Dengan kesungguhan yang luar biasa, beliau melaksanakan amanah tersebut. Beliau benar-benar menjadikannya sebagai sarana untuk berdakwah di jalan Allah. Berbagai petuah dan nasihat beliau sampaikan kepada penduduk yang tinggal di sekitar madrasah tersebut. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Beliau mampu mangambil simpati orang banyak, yang selanjutnya mereka menimba ilmu di madrasah tersebut. Bahkan tidak sedikit orang yang bertaubat dari kemaksiatan dan penyimpangan lantaran mendengar nasihat yang beliau sampaikan.

Adz Dzahabi menukilkan ucapan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab beliau, Siyar A’lamin Nubala ketika menyebutkan biografi beliau, Syaikh berkata, ”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku. Dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Hal ini mengingatkan kita betapa besarnya pahala seseorang yang menjadi lantaran sampainya hidayah kepada orang lain. Sebagaimana sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib yang artinya,

"Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada satu orang melalui engkau, maka hal itu lebih baik bagimu dari pada mendapatkan unta merah." (H.R Al-Bukhari dan muslim)

Unta merah adalah gambaran harta yang paling mewah dan berharga.

SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAELANI ADALAH AHLUSSUNNAH

Para ulama pun mempersaksikan lurusnya akidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Persaksian tersebut muncul dari ulama yang sezaman dan langsung menimba ilmu dari beliau. Demikian pula ulama kalangan generasi sepeninggal beliau, yang telah menelaah dan meneliti buku- buku karya beliau. Mari kita simak penuturan salah seorang murid beliau, yang di kemudian hari menjadi ulama yang sangat terkenal, yaitu Ibnu Qudamah.

Suatu saat Ibnu Qudamah pernah di tanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Beliaupun menjawab, "Saat kami tiba di kota Baghdad, ternyata saat itu kami bertemu Syaihk Abdul Qdir Al-Jaelani berada di puncak tertinggi dalam hal ilmu,fatwa, zuhud." Ibnu rjab menyatakan, "Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani termasuk ulama yang komitmen terhadap sunnah dalam berbagai permasalahan yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, takdir dan yang semisalnya. Beliaupun sangat serius dalam membantah siapa saja yang menyelisihi perkara tersebut."

Bukti semua ini adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani sendiri berkata dalam kitabnya yang sangat terkenal, Al Ghunyah, ”Allah berada di atas langit, di atas Arsy, menguasai kerajaan alam semesta, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik katakata yang baik dan amalan shalih. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas langit, di atas Arsy, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Ar-Rahman (Allah) tinggi istiwa’ di atas Arsy.” [Q.S. Thaha:5].

Dengan demikian, karya beliau yang bernama Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq ini, menjadi salah satu bukti otentik yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama yang berakidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh para ulama masa kini.

Di antaranya adalah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Makhdali dalam kitab beliau yang berjudul Al Haddul Fashil, "Aku telah mendapatkan akidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani di dalam Kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Ternya Beliau adalah seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta berbagai akidah yang lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga sangat perhatian dalam membantah berbagai kelompok sesat seperti Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyah, Jabriyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya."

Adapun mengenai berbagai kisah tentang karamah yang disandarakan kepada beliau, maka tidak semua kisah tersebut benar adanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa riwayat yang menyebutkan karamah yang beliau miliki telah mencapai derajat mutawatir (sangat banyak). Dan sebagian kisah itu memang benar adanya.

Namun, tidak sedikit kisah-kisah yang tidak bisa dipertanggung jawabkan keabsahan dan kebenarannya.

Oleh sebab itu, Ibnu Rajab mengatakan, ”Syaikh Abdul Qadir Al- Jailani adalah orang yang diagungkan pada masanya. Sungguh beliau telah dimuliakan oleh sekian banyak syaikh, baik kalangan ulama ataupun para ahli zuhud. Yang demikian itu karena beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah.

Ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri, yang menghimpun cerita-cerita tentang berbagai keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam tiga jilid kitab. Namun orang itu telah mencantumkan hal-hal yang aneh dan dusta. Padahal cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Sebagian isi kitab itu telah kubaca, dan qalbuku tidak tenang untuk meriwayatkan segala kisah yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah populer dari kitab selainnya.

Selain itu, banyak riwayat dalam kitab ini yang bersumber dari orang-orang yang majhul (tidak dikenal). Juga terdapat perkara- perkara yang mustahil, sesat, klaim, dan ucapan yang batil. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.” [Dzail Thabaqat Hanabilah, 1/293, karya Ibnu Rajab].

Imam Adz Dzahabi menyebutkan, ”Tidak ada seorang ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisahnya, selain Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Namun, banyak dari riwayat-riwayat itu yang tidak benar. Bahkan ada yang mustahil terjadi.” Tidak ketinggalan Ibnu Katsir juga memberikan komentarnya mengenai beliau ini dalam Al-Bidayah wan Nihayah, beliau mengatakan, ”Orang- orang banyak menukilkan hal dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, baik berupa ucapan, perbuatan, penyingkapan urusan gaib, yang mayoritasnya adalah ghuluw (sikap ekstrim). Padahal beliau adalah seorang yang shalih dan wara’. Beliau menulis kitab Al Ghunyah dan Futuh Al Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat perkara-perkara yang baik, namun beliau kadang membawakan hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu. Akan tetapi secara global, beliau merupakan seorang figur di kalangan pemimpin para masyayikh.”

PRIBADI NAN PENUH KESABARAN

Terlepas dari berbagai karamah dengan berbagai versi yang disebutkan dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sesungguhnya ada sebuah suri tauladan yang baik pada diri beliau bagi segenap kaum muslimin. Yaitu kesabaran beliau yang sangat menakjubkan dalam menghadapi cobaan dan ujian duniawi.

Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari berbagai penderitaan jiwa maupun fisik, kerugian harta benda, maupun kehilangan orang-orang yang dicintai. Yang demikian ini pasti akan menimpa siapa pun. Baik orang shalih maupun orang bejat, bahkan para nabi sekali pun.

Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

"Dan sunggu akan Kami memberikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang- orang yang sabar (Q.S Albaqarah:155).

Dalam kitab Dzailu Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab menyebutkan sebuah peristiwa yang pernah dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di kota Baghdad. Beliau berkata, “Aku mengambil selada dan sisa-sisa sayuran dari tepi sungai. Kesempitan hidup semakin memuncak karena melambungnya harga barang di Baghdad. Hal ini membuatku tidak makan selama beberapa hari. Bahkan aku terpaksa harus memungut sisa-sisa makanan yang terbuang untuk dimakan.

Suatu hari aku keluar dari rumah menuju tepi sungai karena terdorong oleh rasa lapar yang sangat hebat. Barangkali aku bisa menemukan daun, sayuran, atau yang lainnya untuk dimakan. Namun, tidaklah aku mendatangi suatu tempat, kecuali pasti telah ada orang lain yang mendahuluiku. Jika aku mendapatkannya, ternyata aku menyaksikan orang-orang miskin saling berdesak-desakan untuk memperebutkannya.

Maka aku pun membiarkannya dalam keadaan aku menyukai makanan tersebut. Aku pun pulang dengan berjalan di tengah kota, dan tidaklah aku menemukan sisa makanan yang terbuang, melainkan pasti ada yang telah mendahuluiku untuk mengambilnya. Akhirnya aku sampai di masjid Yasin yang terletak di sebuah pasar kota Baghdad. Aku benar-benar sangat lemah dan tidak mampu lagi bertahan. Aku pun masuk ke dalam masjid itu, lalu duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja kematian menjemputku waktu itu.

Dalam kondisi seperti itu, tibatiba masuklah seorang pemuda ajam (non arab) dengan membawa roti dan daging panggang. Kemudian ia duduk dan memakannya. Setiap kali ia mengangkat tangan untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, mulutku ikut terbuka karena begitu beratnya kelaparan yang kurasakan. Sampai-sampai aku mengingkari hal ini terjadi dalam diriku. Aku berkata, ’Apa-apaan ini.’ Aku berkata, ’Tidak lah ada kecuali Allah atau kematian yang telah ditetapkan oleh-Nya.’ Tiba- tiba pemuda tersebut menoleh ke arahku dan melihatku lalu berkata, "Bismillah, makanlah wahai saudaraku." Namun aku menolaknya. Maka pemuda itu bersumpah supaya aku memakannya. Jiwaku ini ingin segera mengiyakan permintaan itu, namun diriku tidak menurutinya.

Pemuda tersebut kembali bersumpah dan akhirnya aku memenuhi keinginannya, maka aku pun memakannya. Pemuda itu bertanya kepadaku, "Apa kesibukanmu? Dari mana asalmu? Dan namamu siapa?" Aku pun menjawab, "Aku adalah orang yang sedang belajar fiqih. Asalku dari Jailan."

Ia berkata, "Saya juga berasal dari Jailan. Apakah engkau mengenal seorang pemuda asal Jailan yang bernama Abdul Qadir, dia adalah cucu Abu Abdillah Ash Shauma’i Az- Zahi?" Aku pun menjawab, "Aku lah orangnya." Seketika itu pemuda tersebut bergetar dan berubah raut wajahnya. Ia berkata, "Demi Allah aku sampai ke Baghdad, dengan sisa bekal yang tinggal sedikit. Aku selalu bertanya tentang dirimu, namun tidak seorang pun yang menunjukkanku kepadamu. Akhirnya bekalku habis. Sehingga selama tiga malam aku tidak memiliki uang untuk membeli makanan selain uangmu yang ada pada diriku.

Bangkai telah halal bagiku (karena keadaan darurat). Aku pun mengambil barang titipan untukmu yang berupa roti dan daging panggang. Makanlah dengan tenang karena makanan ini milikmu. Sekarang aku adalah tamumu, setelah sebelumnya engkau menjadi tamuku." Aku pun bertanya kepadanya, "Kenapa bisa seperti itu?" Ia pun bercerita, "Ibumu telah menitipkan kepadaku uang delapan dinar untukmu. Lalu aku membeli makanan dengan uang itu karena terpaksa. Sekarang aku meminta maaf kepadamu."

 Maka aku menyuruhnya diam dan menentramkan jiwanya. Kemudian aku memberinya sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Maka ia pun menerimanya dan pergi.” Demikianlah para pembaca yang budiman, sepenggal kisah tentang kesabaran Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Seorang yang mengaku mencintai Syaikh Abdul Qadir, maka hendaknya ia berusaha untuk meneladaninya.

Bagaimana semangat dan kesabaran beliau dalam menuntut ilmu, perjuangan beliau dalam mendakwahkan ilmu agama, akidah beliau, dan sifat-sifat terpuji yang lainnya. Bukan diwujudkan dengan sekedar menyebut-nyebut namanya dalam majlis dzikir atau doa. Apalagi dengan menjadikan beliau sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah. Ini adalah perbuatan bid’ah yang terlarang dalam syariat Islam, yang mengantarkan kepada kesyirikan. Wallahu a’lam.

Baca juga BIOGRAFI IMAM SYAFI'I

Sumber: www.happyislam.com
Sumber Majalah Qudwah Edisi 2

Share:

Label